15 Jun 2011

SEJARAH DAN POTENSI TAMAN WISATA SANGEH


taman wisata alam sangehSetiap orang yang pernah ke Bali dapat dipastikan pernah berkunjung dan mengenal Sangeh, namun tahukan anda bahwa TWA Sangeh merupakan sisa hutan dataran rendah yang ada di Bali! Mungkinkah keberadaannya masih bisa bertahan 10 hingga 20 tahun kedepan?

Sejarah TWA Sangeh

TWA Sangeh semula berstatus Cagar Alam (Natuur Monument) sesuai dengan Keputusan Pemerintah Gubernur Hindia Belanda Nomor 90 tanggal 12 Februari 1919 yang saat itu luasnya baru 9.8 ha, dimana Cagar Alam tersebut merupakan perwujudan usaha untuk melindungi kekayaan alam dengan keanekaragaman jenis flora faunanya. Lokasi ini juga merupakan tempat upacara Agama Hindu yang didalamnya terdapat Pura peninggalan Kerajaan Mengwi Abad XVII dan hutan disekitarnya dikenal dengan Hutan Pala yang suci. Dalam perkembangannya kawasan ini menjadi salah satu obyek wisata andalan yang berbasis ekowisata dan budaya di Propinsi Bali.

Pada 31 Juli 1979 dilakukan pengukuran sekaligus pemancangan batas oleh Balai Planologi Kehutanan IV Nusa Tenggara sehingga luasnya bertambah menjadi 10,8 Ha dengan keseluruhan batas buatan sepanjang 1.297 km dan jumlah tanda batas yang dibeton sebanyak 17 buah. Berdasarkan Berita Acara Tata Batas Tambahan Cagar Alam Sangeh (RTK.21) tanggal 9 Mei 1990 diperluas dengan menambahkan lahan kompensasi dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) seluas 3,169 Ha. Kemudian pada tanggal 16 Februari 1993 keluar Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.: 87/Kpts-II/1993 tentang perubahan Cagar Alam Sangeh menjadi Taman Wisata Alam Sangeh dengan luas kawasan 13.969 Ha.

Keadaan Sosial Budaya Masyarakat Desa Sangeh

Adat Istiadat, Agama dan Kepercayaan

Sebagian besar penduduk Desa Sangeh beragama Hindu. Masyarakat Desa secara tegas menganut ajaran Agama Hindu yang terdapat dalam Panca Srada. Selain itu mereka juga menganut kepercayaan bahwa alam sebagai salah satu unsur dalam konsep Tri Hita Karana. Konsep tersebut merupakan keselarasan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Karena itu hubungan antara unsur-unsur alam seperti halnya dengan tanah, air, tumbuh-tumbuhan dan hewan harus dipelihara serta selalu dijaga kelestariannya. Salah satu unsur Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia dengan alam dengan implementasi upacara agama/piodalan sedangkan hubungan manusia dengan Tuhannya secara rutin dilaksanakan ditempat Suci Pura Bukit Sari dan Pura Melanting yang letaknya didalam TWA Sangeh setiap Rabu manis julungwangi (dua kali dalam satu tahunnya, sedangkan Pura Anyar dilaksanakan setiap Rabu manis kulantir. Dalam pelaksanaannya kegiatan Upacara tersebut dilaksanakan oleh suatu lembaga Adat yang menjadi wadah dalam upacara-upacara keagamaan yang bernafaskan ajaran Hindu didalam sistem pemerintahan Desa Sangeh yaitu Desa Adat Sangeh.

Tata Nilai

Didalam masyarakat Hindu, struktur tata ruang secara garis besar dibagi menjadi 3 (tiga) bagian (Tri Mandala) yaitu :

  • Utama Mandala dimanfaatkan untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (tempat pemujaan)
  • Madya Mandala dimanfaatkan untuk penempatan bangunan yang bernbilai madya (tempat tingga/rumah)
  • Kanista Mandala dimanfaatkan untuk penempatan bangunan yang bernilai nista (kandang)

Demikian sebaliknya secara makro terhadap pengaturan Tri Mandala di wilayah Desa Adat Sangeh. Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan prinsip-prinsip bangunan Hindu. Dalam system semesta, ketiga unsur tersebut terdiri dari Tuhan, Manusia, dan alam sekitarnya. Didalam kehidupan bermasyarakat norma-norma adat yang tertulis dalam bentuk awig-awig atau parerem (aturan desa Adat) masih sangat kuat mengikat tingkah laku dan perbuatan individu. Selain itu norma agama yang tertuang dalam pustaka-pustaka agama Hindu selalu dijadikan pedoman agar didasarkan kepada ajaran kebenaran dan sosial seperti yang terdapat dalam konsep Tri Kaya Parisuda (tiga hal yang disucikan) dan konsep Tatwan Asi (aku adalah kamu, dan kamu adalah aku) yang maknanya setiap orang harus mengasihi orang lain.

Sikap dan Persepsi terhadap Lingkungan Hidup

Didalam masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu (di beberapa daerah ada masyarakat Bali yang beragama Muslim dan Nasrani) ada anggapan bahwa alam semesta (makrokosmos) merupakan sumber kehidupan. Tujuan akhir kehidupan dan sebagai lingkungan hidup yang paling sesuai dan paling serasi dengan manusia sebagai penghuninya. Karena itu dalam membangun lingkungan hidup buatannya mempunyai nilai yang sama dengan makro kosmosnya. Dilain pihak makrokosmos tidak terbatas baik dimensi maupun bentuknya sehingga sulit untuk ditiru. Oleh karena, manusia mencari pendekatan lain yaitu dengan menbandingkan antara makrokosmosnya yang pada dasarnya mempunyai kesamaan di dalam susunan unsur tetapi berbeda dalam skala. Adapun unsur-unsurnya adalah Suksma (zat penghidupan) yang disebut Atma pada diri manusia dan Paraatma (Tuhan). Pada alam semesta, tenaga energi) yang disebut prana pada diri manusia dan di alam semesta terdapat tenega semesta, fisik (badan kasar) atau jazad (angga sarira) pada diri manusia dan loka untuk alam semesta.

Perikehidupan yang tertata dengan menganut konsep Tri Hita Karana layaknya terwujud oleh masyarakat Desa Adat Sangeh. Hal ini dapat dilihat dari konsistennya masyarakat untuk menjaga kawasan hutan Sangeh beserta isinya, begitu pula hubungan warga selalu rukun dan damai. Upaya pengelolaan dan pengawasan kawasan hutan Sangeh selalu dimusyawarahkan dalam lembaga Adat sebagai wadah yang menampung aspirasi dan motivasi masyarakatnya. Pengamanan dan pemanfaatan direncanakan dengan matang tanpa mengabaikan unsur-unsur religius yang sudah tertanam dalam tatanan perkehidupan masyarakat Desa Adat Sangeh yang sudah tertanam sejak nenek moyang mereka membuat tempat suci (Pura) di kawasan hutan Sangeh ini pada Abad ke XVII. Kawasan Hutan Sangeh dan kawasan sekitarnya mendapat perlindungan dan pengamanan baik flora maupun faunanya. Hal ini terakomodasi dalam awig-awig yang dikeluarkan oleh Desa Adat Sangeh dan diteruskan kedalam lembaga Adat yang lebih kecil yaitu 5 (lima) lembaga Banjar adat (Banjar Batusari, Banjar Brahmana, Banjar Sibang dan Banjar Mulukbabi) seterusnya dilaksanakan oleh warga masyarakat adat.

Potensi TWA Sangeh

Potensi Flora

Potensi Flora yang ada di TWA Sangeh didominasi oleh jenis Pala/Keruing (Dipterocarpus trinervis), meskipun ada beberapa jenis pohon lain namun jumlahnya tidak lebih dari 1 %. Selengkapnya seperti terlihat pada Tabel 1.

Kondisi wilayah TWA Sangeh ini padat dengan jenis-jenis vegetasi seperti pada tabel 1 dengan keragaman yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa TWA Sangeh merupakan kawasan hutan yang spesifik.

Potensi Fauna

Maskot satwa andalan TWA. Sangeh adalah Monyet Abu-abu (Macaca fascicularis) jumlahnya diperkirakan ± 500 ekor, sedangkan jenis fauna lain sangat beragam, antara lain ; gelatik, kipasan, elang, perkutut, tekukur, kuntul, kepodang, kutilang dll. Bahkan terdapat 6 (enam) jenis yang termasuk fauna langka dilindungi antara lain ; elang, kuntul perak, kuntul kecil, jalak putih, kipasan dan kucing hutan.

Potensi wisata dalam kawasan

Keadaan Obyek Wisata

Obyek wisata TWA Sangeh saat ini mengandalkan monyet abu-abu sebagai obyek bagi pengunjung selain tegakan Pala dan bangunan Pura. Populasi monyet abu-abu saat ini diperkirakan 500 ekor yang terbagi menjadi 3 kelompok besar, dengan masing-masing kelompok dipimpin oleh satu ekor monyet abu-abu jantan (raja). Kehidupan monyet didukung oleh tegakan Pala/Kruing (Dipterocarpus trinervis) sebagai peninggalan komposisi tegakan hutan hujan topis dataran rendah.

Bangunan Pura

Pura sebagai tempat peribadatan umat Hindu sekaligus merupakan obyek pariwisata budaya, terdapat pula didalam kawasan TWA Sangeh yang merupakan tambahan khasanah bagi kawasan TWA itu sendiri.

Sedikitnya ada (empat) buah Pura yang ada di dalam kawasan TWA Sangeh, antara lain :

Pura Bukit

Pura ini merupakan Pura Kahyangan Jagad setingkat Dhang Kahyangan, terletak agak jauh di dalam kawasan dan merupakan komplek Pura yang terdapat paling barat. Komplek pura ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu :

  • Halaman depan berisi panggungan yang terletak di kanan kiri gapura pura sebanyak 2 (dua) buah, dapur untuk untuk memasak dan satu kolam air berukuran 2 x 3 m
  • Halaman tengah berisi bangunan untuk mempersiapkan sesaji
  • Halaman dalam disebut “jero”, merupakan komplek bangunan pura sebanyak 15 pelinggih yang merupakan pusat dari seluruh komplek Pura Bikit Sari.

Pura Melanting

Pura ini teletak di dalam kawasan ± 200 meter sebelah timur Pura Bukit Sari. Komplek pura ini terdiri dari beberapa bangunan, dengan bangunan berupa “Meru” tingkat 3.

Pura Tirtha

Pura ini terletak ditepi jalan raya Denpasar – Petang dan sebelah timur kawasan TWA Sangeh. Pura ini terdiri dari 1 (satu) pelinggih yang berbentuk tugu.

Pura Anyar

Pura ini merupakan pengembangan dari Pura Batan Pule yang terletak di bawah pohon pule. Dalam bahasa Bali, Batan berarti bawah, Pule berarti Pohon Pule, tetapi dalam perkembangannya pura ini lebih dikenal dengan nama Pura Anyar yang berarti Baru.

Letak Pura ini disebelah tenggara kawasan TWA Sangeh. Komplek Pura ini terbagi dalam 2 (dua) bagian, dimana bagian luar digunakan untuk mempersiapkan sesaji dan komplek kedua disebut “jero” terdiri dari 3 (tiga) bangunan yang merupakan pusat dari komplek Pura Anyar.

Sejarah Pura Bukit Sari

Bukit Sari dapat diartikan “bukit” yang berarti kelapangan hati (suksma nirmala) dan “Sari” yang berarti kebulatan pikiran (pasrah dengan situasi). Lingkungan Pura Bukit Sari adalah wilayah hutan pala yang dilestarikan dan dihuni oleh ratusan ekor monyet abu-abu yang dikeramatkan. Pura ini merupakan pura kerajaan Mengwi yang kini diemong oleh masyarakat Adat Desa Sangeh.

Menurut Babad Mengwi, Pura Bukit Sari ini dibangun oleh I Gusti Agung Ngurah Karangasem (Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti) yang merupakan anak angkat dari Raja Mengwi Ida Cokorda Sakti Blambangan. Sangeh merupakan wilayah Kerajaan Mengwi yang mempunyai wilayah kekuasaan sampai dengan daerah Blambangan, Jawa Timur. Dimana disebutkan Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti sejak kecil senang melakukan “Tapa Rare”, yaitu bertapa seperti tingkah laku bayi atau anak-anak. Konon beliau mendapat ilham agar membuat pelinggih pura di hutan Pala Sangeh. Sejak itulah dibangun Pura Bukit Sari sebagai tanda bakti keturunan Raja Mengwi terhadap Ida Betara di Gunung Agung, karena beliau adalah Putra Karangasem yang diangkat anak oleh Raja Mengwi.

Menurut mitologi yang hidup dimasyarakat Bali, Hutan Pala itu berasal dari Gunung Agung yang pada suatu malam hutan tersebut bergerak dari Gunung Agung menuju daerah Mengwi tetapi karena ada orang yang melihat perjalanan hutan tersebut, maka hutan tersebut berhenti bergerak dan mandeg di Bukit sari yang sekarang ini, yang sebelumnya mandeg di Tanah Wuk (lokasi wisata di sebelah utara TWA Sangeh).

Sarana dan Parasarana

Didalam dan sekitar TWA Sangeh terdapat sarana dan prasarana berupa jalan aspal yang mengelilingi lingkar luar selatan dan utara TWA Sangeh, sedangkan jalan di dalam kawasan mulai dari pintu masuk Pura Bukit Sari menuju Pura Melanting. Selain itu terdapat jalan setapak serta jalan aspal disebelah utara TWA menuju ke arah barat (sungai Yeh Penet) dan sebelah selatan TWA bersebelahan dengan areal parkir baru seluas 1 Ha.

Potensi Wisata sekitar kawasan

Disekitar kawasan TWA Sangeh sudah berkembang obyek wisata lain selain TWA yang berpotensi untuk berkembang, tempat tersebut antara lain ;

Taman Rekreasi Tanah Wuk

Lokasi Taman Rekreasi Tanah Wuk terletak tidak jauh dari Pura Bukit Sari ± 1 km arah barat laut. Obyek wisata ini mempunyai keindahan panorama tebing/relung sungai yang laus dan dalam berisi mata air jernih dengan debit air 6 liter/detik yang dimanfaatkan sebagai sumber mata air bersih bagi penduduk desa. Aliran sumber mata air tersebut dihubungkan gua yang tembus menuju sungai Yeh Penet.

Untuk mencapai obyek ini bias melalui jalan setapak melewati persawahan atau dari jalan rara aspal sebelah timur ke arah barat sejauh ± 500 m. obyek wisata ini mempunyai keterkaitan sejarah dengan Pura Bukit sari.

Taman Rekreasi Taman Mumbul

Dari Pura bukit Sari menuju arah tenggara dengan jarak ± 1 km dapat dijumpai kolam mata air yang cukup besar dengan debit air ± 222 liter/detik dan merupakan sumber mata air untuk mengairi sawah dan kebutuhan masyarakat disekitarnya. Taman mumbul adalah tempat suci bagi masyarakat Desa Sangeh yang digunakan sebagai prosesi Upacara Melasti. Tempat ini mempunyai 2 (dua) buah Pura yaitu Pura Taman Mumbul yang terletak di sumber mata air sebelah utara dan Pura Ulun Mumbul yang terletak disebelah selatan sumber Mata air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar