15 Jun 2011

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP EROSI TANAH DI SUB DAS MESAAM, PROVINSI BALI


Pendahuluan

Degradasi lahan merupakan masalah utama lingkungan dan isu penting dalam Konvensi PBB untuk Desertifikasi, Konvensi Biodiversity dan Protokol Kyoto. Menurut FAO, definisi degradasi lahan adalah penurunan kapasitas produktif lahan secara temporal maupun permanen. Berdasarkan definisi ini, degradasi lahan berhubungan erat dengan kualitas tanah. Salah satu bentuknya adalah erosi tanah, yang merupakan proses pemecahan dan transportasi tanah pada permukaan lahan oleh angin dan air yang dipengaruhi oleh faktor alam (energi hujan, materi induk tanah, kedalaman tanah, dan topografi/kemiringan lereng) dan faktor antropologi (tipe vegetasi, tutupan vegetasi dan praktek managemen) (El-Swaify, 1994). Dengan demikian erosi tanah adalah fungsi dari erosivitas dan erodibilitas tanah (kondisi fisik tanah, kondisi topografi dan tutupan vegetasi/penggunaan lahan). Erosi tanah merupakan salah satu bencana sumber daya alam, yang jika terjadi terus menerus akan memicu terjadinya bencana alam lain, seperti tanah longsor dan banjir.

Erosi tanah adalah masalah utama yang terjadi secara meluas hingga kini di Provinsi Bali. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan angka lahan kritis dan sedimentasi di beberapa DAS, khususnya di Sub DAS Mesaam yang merupakan bagian dari DAS Sabah Daya. Wilayah ini mempunyai intensitas hujan tinggi dan kondisi topografi yang bervariasi. Selama 30 tahun, penggunaan lahan di wilayah ini berubah secara drastis. Hal ini dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk yang cepat sehingga pemenuhan kebutuhan hidup dasar seperti makanan dan tempat tinggal juga meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, penduduk membuka lahan untuk pertanian dan perkebunan secara terus menerus tanpa mempertimbangkan kondisi tanahnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa Sub DAS Mesaam mempunyai potensi tinggi untuk terjadnya erosi tanah.

Pemantauan erosi tanah di Sub DAS Mesaam agak sulit dilakukan akibat dari kondisi lahan yang berbukit dan bergunung serta peningkatan populasi penduduk yang cepat. Hal ini juga dipicu oleh ketiadaan data spasial perubahan penggunaan lahan secara cepat. Dengan kata lain, keberadaan data fisik spasial yang tersedia secara cepat sangat penting untuk memantau dan menghitung erosi tanah yang terjadi.

Integrasi teknik penginderaan jauh dan GIS sudah digunakan untuk menghitung nilai erosi sejak tahun 1970. Proses erosi meliputi perubahan waktu dan tempat, yang mana GIS merupakan alat yang optimal untuk memperbaharui informasi tentang erosi. Sedangkan teknik penginderaan jauh merupakan alat untuk mendeteksi dan memantau perubahan penggunaan lahan sebagai masukan untuk model perhitungan erosi tanah.

Indeks Erosivitas Hujan

Indeks erosivitas hujan di Sub DAS Mesaam, Provinsi Bali pada tahun 2005 kurang lebih sebesar 0,11-329,99 ton/ha/cm. Sedangkan rata-rata indeks erosivitas hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus. Indeks erosivitas hujan tertinggi dengan nilai lebih dari 100 terjadi pada bulan Desember sampai April. Ini mengindikasikan pada bulan-bulan tersebut mempunyai potensi tinggi terjadinya erosi. Pada bulan Mei sampai September, intensitas hujan menurun secara drastis. Kondisi ini sangat berbahaya, karena tanah menjadi jenuh sehingga kemungkinan terjadinya longsor sangat tinggi.

Erodibilitas Tanah

Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus Bols, erodibilitas tanah Sub DAS Mesaam terbagi menjadi 3 kelas, yaitu sangat rendah, tinggi dan sangat tinggi. Area masing-masing kelas erodibilitas tanah ditunjukkan pada gambar 1.

Kemiringan Lereng

Berdasarkan pada peta kemiringan lereng, Sub DAS Mesaam mempunyai topografi yang bervariasi. Tingkat kemiringan lereng mempunyai pengaruh terhadap erosi tanah. Tingkat kemiringan lereng tinggi (>8%) akan memberikan kontribusi besar terjadinya erosi tanah.

Penggunaan lahan

Penggunaan lahan merupakan salah satu faktor penentu erosi yang bersifat dinamis. Dalam kurun waktu 30 tahun, Sub DAS Mesaam telah mengalami perubahan penggunan lahan yang cukup drastis. Kondisi ini dapat dilihat dari hasil penafsiran citra selama kurun waktu 30 tahun (1976-2006) dengan menggunakan 4 citra yang mempunyai resolusi spasial dan resolusi temporal yang berbeda, yaitu citra Landsat MSS (1976), Citra Landsat TM 5 (1989), Citra Landsat ETM+ 7 (2000) dan citra ASTER (2006).

Pada tahun 1976, kurang lebih 40% area Sub DAS Mesaam tertutup oleh hutan dan 23.92% merupakan lahan pertanian kering campur. Wilayah penelitian didominasi oleh penggunaan lahan dengan kerapatan vegetasi lebih dari 50%, yang berupa hutan dan semak/belukar. Sedangkan lahan kosong hanya 3.33%. Kondisi ini dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang sedikit yang mana tingkat pemenuhan kebutuhan hidup dasar juga kecil.

Pada tahun 1989, pertanian lahan kering campur mendominasi penggunaan lahan di wilayah penelitian sebesar 53.65% yang diikuti oleh hutan seluas 21%. Dibandingkan dengan tahun 1976, luas area hutan mengalami penurunan, terutama pada hutan sekunder, sedangkan luas penggunaan lahan berupa lahan pertanian kering meningkat. Kondisi ini disebabkan adanya okupasi oleh penduduk yang tinggal di sekitar hutan.

Pada tahun 2000, sebaran luas penggunaan lahan berupa hutan, semak/belukar, lahan pertanian kering campur dan lahan pertanian kering adalah 25%, 13%, 26% dan 10%. Sedangkan pemukiman dan lahan kosong mempunyai luasan sebesar 0,58% dan 0,21%. Perubahan penting terjadi dari penggunaan lahan hutan dan pertanian lahan kering campur ke semak/belukar. Kondisi ini diakibatkan oleh petani yang mengganti semua tanaman kopi menjadi jeruk.

Pada tahun 2006, prosentase luas hutan, semak/belukar, perkebunan dan lahan pertanian kering campur adalah 25%, 17%, 23% dan 19%. Sisanya adalah pemukiman, rumput, lahan pertanian kring dan lahan kosong. Pada tahun ini, hampir semua penggunaan lahan mengalami perubahan luasan. Perubahan penggunaan lahan terbesar terjadi dari semak/belukar dan pertanian lahan kering campur ke perkebunan.

Perubahan Penggunaan Lahan

Sub DAS Mesaam mengalami perubahan penggunaan lahan yang sangat drastis dalam kurun waktu 30 tahun (1976-2006), terutama perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi semak/belukar, perkebunan, pemukiman, lahan kosong dan rumput.

Pada periode 1976-1989, perubahan penggunaan lahan terjadi pada hampir semua tipe penggunaan lahan dengan prosentase lebih dari 90%. Lahan kosong berubah total menjadi tipe penggunaan lahan lain. Hutan mengalami perubahan seluas 47%. Hutan primer tidak mengalami perubahan terlalu luas, karena lokasinya yang terletak di pegunungan dan perbukitan, sehingga sulit dijangkau. Di samping itu, penduduk di wilayah penelitian memiliki kearifan lokal (local wisdom) untuk menjaga hutan. Hal ini juga ditunjang oleh program rehabilitasi lahan dan hutan dari Departemen Kehutanan.

Pada periode 1989-2000, perkebunan, lahan pertanian kering dan rumput berubah total menjadi tipe penggunaan lahan lain. Dibandingkan dengan perubahan penggunaan lahan pada periode 1976-1989, perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi tipe penggunaan lahan lain meningkat, yaitu sebesar 63%. Akibat adanya kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia pada waktu itu, perubahan penggunaan lahan terjadi lebih besar dibandingkan pada periode sebelumnya.

Pada periode 2000-2006, perubahan penggunaan lahan terutama terjadi pada lahan kosong, pemukiman, hutan sekunder dan lahan pertanian kering. Perubahan pada hutan primer relatif kecil, hal ini merupakan salah satu indikasi dari keberhasilan Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan. Sedangkan sebagian besar hutan sekunder berubah menjadi perkebunan dan semak/belukar. Sejak tahun 2004, kualitas jeruk menurun dan petani mengubah tanaman jeruk menjadi kopi. Akibat dari permintaan pasar dan harga kopi yang tinggi, petani mengubah pertanian lahan kering menjadi perkebunan kopi.

Erosi Tanah

Secara umum, area yang mengalami tingkat erosi tinggi adalah di sepanjang sungai dan lembah. Kemiringan lereng yang tinggi, tingkat erodibilitas tanah tinggi dan lahan dengan tutupan vegetasi kurang dari 20% adalah parameter utama yang menyebabkan terjadinya erosi. Kenampakan erosi berupa riil dan gully sering terjadi pada lembah dengan kemiringan lereng yang tinggi. Perbedaan tipe penggunaan lahan juga memberikan perbedaan pada tingkat erosi tanah. Pada jenis tanah dan kemiringan lereng yang sama, hutan memberikan kontribusi pada terjadinya erosi lebih kecil dibandingkan dengan lahan pertanian atau semak/belukar. Perubahan penggunaan lahan, terutama dari perkebunan kopi menjadi perkebunan jeruk dan lahan pertanian kering, seperti, jagung dan sayuran, merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya erosi. Struktur pohon dan kanopi tanaman kopi membuat aliran air hujan dapat tertahan dibandingkan dengan pertanian lahan kering dan tanaman jeruk, di samping adanya tanaman pelindung pada tanaman kopi. Air hujan yang langsung jatuh ke tanah dapat menyebabkab erosi lebih besar, dibandingkan dengan air hujan yang turun melalui daun dan batang.

Pada 1976, hampir seluruh wilayah penelitian tertutup oleh hutan, sehingga luas wilayah dengan erosi tingkat tinggi relatif rendah. Sedangkan lahan kosong dan pertanian lahan kering memberikan kontribusi yang tinggi pada terjadinya erosi. Pada tahun 1989, luas wilayah yang mengalami erosi lebih besar dibandingkan pada tahun 1976. Hal ini dikarenakan adanya penurunan luas hutan. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan kosong dan perkebunan menyebabkan peningkatan erosi pada kelas erosi tinggi. Peningkatan jumlah penduduk dan pemenuhan kebutuhan dasar hidup penduduk menyebabkan perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi perkebunan dan lahan pertanian kering campur.

Kesimpulan dan Saran

Sub DAS Mesaam terletak pada dataran tinggi dengan didominasi oleh area yang mempunyai kemiringan lereng lebih dari 8%. Intensitas hujan rata-rata bulanan adalah 717,4 mm dan indeks erosivitas tertinggi terjadi pada bulan Januari. Berdasarkan, kondisi fisik wilayah penelitian yang meliputi kemiringan lereng, tipe batuan, erodibilitas tanah, dan indeks erosivitas hujan, Sub DAS Mesaam mempunyai potensi tinggi untuk terjadinya erosi.

Data penginderaan jauh multi temporal dan multi spektral mempunyai banyak kelebihan dalam menghitung perubahan penggunaan lahan. Integrasi teknik penginderaan jauh dan GIS dapat digunakan untuk manajemen dan analisis parameter-parameter erosi dan selanjutnya untuk monitoring dan perencanaan wilayah.

Strategi manajemen aktif yang bertujuan untuk konservasi dan regenerasi hutan harus dilaksanakan secara berkesinambungan untuk mengurangi erosi tanah di wilayah penelitian. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menggunakan data-data penginderaan jauh yang mempunyai resolusi sepktral dan spasial tinggi untuk mengekstrak parameter-parameter erosi. Berdasarkan data perubahan penggunaan lahan, model penentuan besarnya erosi tanah dapat dikembangkan.

References

De Jong, S. 1994. Application of Reflective Remote Sensing for Land Degradation Studies in a Mediterranean Environmental. Faculteit Ruimtelijke Weterschappen, Universiteit Utrecht. The Netherlands. 237p.

El-Swaify, Arsyad, S., and Krisnarajah, P. 1983. Soil erosion by water. In Carpenter, R.A., (ed). Natural system for development; 99-161. Macmillan Publ. Co. New York.

FAO. 1983. Guidelines: land evaluation for forestry. Forestry paper 48. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Italy.

ITC. 2001. ILWIS 3.0 Academic: User Guide. Enschede. The Netherlands.

Junus Dai and Rosman. 1970. An explanatory text to the Reconnaissance Soil Map of Bali 1970. Soil Research Institute. Bogor. Indonesia.

Lal, R. and Steward, B.A. 1990. Soil erosion and land degradation. Soil Degradation (Vol II). New York etc: Springer-Verlag

Lillesand, T. M., Kiefer, R. W. and Chipman, J. W. 2004. Remote Sensing and image interpretation (Fifth Edition). New York ex: Wiley and Sons.

Morgan, R.P.C. 1996. Soil Erosion and Coservation 2nd Edition. Longman Group. England. 198p.

Oldeman L.R., Hakkeling R.T.A., and Sombroek, W.G. 1991. World map of the status of human-induced soil degradation: an explanatory note. Second revised edition. ISRIC-Wageningen and UNEP. Nairobi.

Stocking, M.A. and Murnaghan, N. 2000. Handbook for the field assessment of land degradation. Earthscan Publications Ltd. London.

Wischmeier, W. H., Smith, D.D. 1978. Predicting rainfall erosion losses. A guide to conservation planning. USDA Handbook 537. Washington D.C., USA.

Young, A. 1976. Tropical soils and soil survey. Cambridge etc. Cambridge University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar