15 Jun 2011

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP DAYA BERKECAMBAHAN BENIH (BIJI)

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP DAYA BERKECAMBAHAN BENIH (BIJI)




}

Oleh :

Rina Andriyani B1J009052

Ibrahim Kholilulloh B1J009056

Lintang Dianing Ratri B1J009078

Rombongan I

Kelompok 4-B

Asisten : Erma Septyaningsih

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS BIOLOGI

PURWOKERTO

2011

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II

Acara Praktikum : Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Daya Berkecambahan Benih (Biji)

Tujuan : Untuk mengetahui konsentrasi zat pengatur tumbuh yang mampu meningkatkan daya perkecambahan (viability) benih.

Hasil dan Pembahasan:

A. Hasil

Tabel 1. Data Hasil Pengamatan Perkecambahan Biji Cabai Lama

Jenis Cabai

Kel.

ZPT

Konsentrasi (ppm)

Jumlah biji yang Berkecambah pada hari ke-

%

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Biji lama

4

IAA

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

1

5

5

0

0

0

0

0

0

0

0

0

9

45

10

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

15

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

20

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

Biji lama

5

NAA

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

5

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

10

0

0

0

0

0

0

0

0

0

13

65

15

0

0

0

0

0

0

0

0

0

10

50

20

0

0

0

0

0

0

0

0

0

12

60

Biji lama

6

GA

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

5

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

10

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

15

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

Tabel 2. Data Hasil Pengamatan Perkecambahan Biji Cabai Baru

Jenis Cabai

Kel.

ZPT

Konsentrasi (ppm)

Jumlah biji yang Berkecambah pada hari ke-

%

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Biji baru

1

IAA

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

3

15

5

0

0

0

0

0

0

0

0

0

2

10

10

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

15

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

20

0

0

0

0

0

0

0

0

3

4

35

Biji baru

2

NAA

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

5

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

10

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

15

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

20

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

Biji baru

3

GA

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

5

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

10

0

0

0

0

0

0

0

0

0

2

10

15

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil praktikum dan data hasil pengamatan diperoleh hasil biji cabe baru mulai mengalami perkecambahan pada hari ke-9 dan hari ke-10. Perkecambahan biji yang lebih cepat yaitu pada biji cabe yang diberi zat pengatur tunbuh IAA (Indole Acetid Acid) dengan konsentrasi 20 ppm sedangkan perkecambahan biji yang cukup lamban yaitu pada biji cabe yang diberi zat pengatur tumbuh IAA (Indole Acetic Acid) dengan konsentrasi 0 ppm, 5 ppm dan 15 ppm sedangkan yang tumbuh di GA (Gibberelic Acid) dengan konsentrasi 10 ppm.

Hasil yang diperoleh dari praktikum dan berdasarkan pada data hasil pengamatan pada biji cabe lama, biji mulai mengalami perkecambahan pada hari ke-10. Biji yang mengalami perkecambahan lebih cepat yaitu pada biji cabe yang diberi zat pengatur tumbuh IAA (Indole Acetic Acid) dengan konsentrasi 0 ppm dan 5 ppm serta NAA (Indole Acetic Acid) dengan konsentrasi 10 ppm, 15 ppm dan 20 ppm. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Kusumo (1990) yang menyatakan bahwa pemberian Giberelin atau GA akan lebih mempercepat perkecambahan dibandingkan dengan pemberian auksin atau NAA. NAA merupakan derivat dari Asam Indole-Asetat yang biasa disebut auksin. Auksin berperan dalam proses pertumbuhan tanaman vaskuler. NAA yang dimasukkan ke dalam jaringan tanaman akan cepat diubah menjadi peptida-peptida dengan asam aspartat atau glutamat dan menjadi glukosil eter. Peranan NAA inilah yang dapat mematahkan dormansi (Wilkins, 1989). GA merupakan salah satu jenis hormon giberelin. GA merangsang biji agar segera melakukan perkecambahan (Wilkins, 1989). Menurut Salisbury dan Ross (1995), GA dapat mempengaruhi perpanjangan batang, mempertinggi aktivitas pembelahan sel, memantau luas daun dan berat kering tanaman, serta berpengaruh terhadap perkecambahan biji dorman dan pertumbuhan kuncup dorman. Jadi GA juga dapat mematahkan terjadinya dormansi.

NAA (Naphthyl Acetic Amida) adalah zat pengatur tumbuh yang dikelompokan ke dalam auksin. Penambahan NAA akan mempengaruhi pertumbuhan akar, yaitu mengenai banyaknya akar yang dihasilkan. NAA lebih stabil sifat kimianya dan mobilitasnya dalam tanaman rendah. Sifat kimianya yang mantap dan pengaruhnya yang lama serta keberadaan hormon ini yang tidak menyebar sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan bagian lain menyebabkan pemakaian hormon ini berhasil (Kusumo, 1990).

IAA (Indole Acetic Acid) adalah auksin endogen yang terbentuk dari tryptophan yang merupakan suatu senyawa dengan inti indole yang selalu terdapat dalam jaringan tanaman. Kandungan IAA dalam suatu tanaman menunjukkan adanya hubungan yang berbanding terbalik dengan adanya aktivitas IAA oksidase. Umumnya di daerah meristematik kadar auksinnya tinggi karena aktivitas IAA oksidasenya rendah (Prawiranata et al., 1989).

Giberelin merupakan hormon pertumbuhan yang terdapat pada organ-organ tanaman yaitu pada akar, batang, tunas, daun, tunas bunga, bintil akar, buah dan jaringan khusus. Respon terhadap giberelin meliputi peningkatan pembelahan sel. Giberelin juga dapat merangsang pertumbuhan batang dan dapat juga meningkatkan besar daun beberapa jenis tumbuhan, besar bunga dan buah. Giberelin juga dapat menggantikan perlakuan suhu rendah (2-40C) pada tanaman (Kusumo, 1990).

Giberelin aktif pada tanaman utuh. Biji biasanya berkecambah dengan segera bila diberi air dan udara yang cukup, mendapat suhu pada kisaran yang memadai dan pada keadaan tertentu mendapat periode terang dan gelap yang sesuai. Tetapi pada sekelompok tumbuhan yang bijinya tidak segera berkecambah meskipun telah diletakan pada kondisi kandungan air, suhu, udara dan cahaya yang memadai. Perkecambahan tertunda selama beberapa hari hari, minggu atau mungkin beberapa bulan. Tetapi dengan adanya giberelin dormansi dapat dipatahkan (Prawiranata et al., 1989). Menurut (Kusumo, 1990) ada beberapa macam giberelin yaitu GA1, GA2, GA3, GA4 dan menurut keaktifannya adalah GA3, GA, GA2 dan GA4.

Fosfor merupakan unsur makro yang sangat penting untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Fosfor cenderung terkonsentrasi dalam biji dan titik tumbuh perkembangan akar serabut. Kekurangan unsur ini bagi tumbuhan dapat berakibat fatal yaitu tanaman umumnya pendek, berbunga lebih lambat, saat panen lambat, dan benih yang dihasilkan mempunyai status vigor yang rendah (Agustin et al., 2010).

Menurut Villiers (1972), dormansi adalah kemampuan biji untuk mengundurkan fase perkecambahannya hingga saat dan tempat itu menguntungkan untuk tumbuh. Sedangkan menurut Lovelles (1990) dormansi adalah masa istirahat yang khusus yang hanya dapat diatasi oleh isyarat-isyarat lingkungan tertentu. Kemampuan istirahat dengan jalan ini memungkinkan tumbuhan untuk bertahan hidup pada periode kekurangan air atau pada suhu dingin. Dormansi dapat dipatahkan dengan memberi zat pengatur tumbuh yaitu IAA, NAA, dan GA.

Heddy (1986) menyatakan bahwa penambahan NAA akan mempersingkat massa dormansi, begitu juga dengan penambahan GA akan memperpendek massa dormansi. Namun penambahan GA lebih efektif dari NAA. Penambahan GA akan lebih cepat merangsang pertumbuhan koleoptil pada biji. Selain jenis zat pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan, konsentrasi ZPT juga dapat mempengaruhi kecepatan perkecambahan biji. Pemberian GA pada konsentrasi yang semakin tinggi mengakibatkan semakin tinggi pula perkecambahannya, tetapi hal ini tergantung pula pada jenis dari benih yang ada. Biji cabai mempunyai kulit yang permeabel sehingga GA dapat lebih bebas masuk dan merangsang perkecambahan lebih cepat (Sutopo, 1984).

Mekanisme perkecambahan biji diawali dengan berakhirnya dormansi dengan adanya imbibisi air yang diperlukan biji untuk melakukan metabolisme tinggi sel-sel dalam embrio dan organel subseluler berorganisasi yang akhirnya terjadi pemunculan kecambah. Sel-sel dalam akar, daun, batang membesar, dan memanjang dengan pengambilan air. Fase perkembangan ini dipacu oleh ZPT seperti IAA, NAA, dan GA (Rismunandar, 1988).

Villiers dalam Salim, (2004) menyatakan bahwa dormansi benih dapat disebabkan antara lain adanya impermeabilitas kulit benih terhadap air dan gas (oksigen), embrio yang belum tumbuh secara sempurna, hambatan mekanik kulit benih terhadap pertumbuhan embrio, belum terbentuknya zat pengatur tumbuh atau karena ketidakseimbangan antara zat penghambat dengan zat pengatur tumbuh di dalam embrio. Ekstraksi buah dapat mengurangi senyawa-senyawa penghambat perkecambahan dan meningkatkan kemampuan benih untuk mengabsorbsi air. Ekstraksi buah dapat mempercepat pembusukan buah dan merangsang proses fisiologi perkecambahan.

Menurut Heddy (1986), faktor yang menyebabkan dormansi pada biji adalah :

1. Tidak sempurnanya embrio (rudimentery embrio)

2. Embrio belum matang secara fisiologis

3. Kulit biji yang tebal

4. Kulit biji impermeabel

5. Adanya inhibitor untuk perkecambahan

Adapun faktor-faktor (metode) yang dapat mematahkan dormansi menurut Meyer dan Anderson (1952) antara lain:

a. Skarifikasi

Salah satu cara untuk mematahkan dormansi biji dengan perusakan pada testa atau kulit biji yang keras. Perlakuannya secara mekanik maupun kimia yang bertujuan untuk melemahkan kulit biji sehingga cukup memungkinkan terjadi perkecambahan. Perlakuan mekanik yaitu merusak bagian biji dengan alat tajam, sedangkan perlakuan kimiawi dilakukan dengan perendaman dalam pelarut organik (aseton), asam sulfat, dan air mendidih.

b. Suhu rendah

Pemasakan atau pematangan biji akan lebih cepat terjadi bila diberi perlakuan atau disimpan pada suhu yang rendah daripada suhu yang tinggi. Keefektifan suhu rendah dalam memecah dormansi terlihat pada interaksi beberapa spesies dengan relasi yang menguntungkan, antara nilai respirasi dan nilai absorbsi oksigen atau pembebasan karbon dioksida.

Perlakuan-perlakuan yang dapat mematahkan dormansi biji menurut (Wilkins, 1969) dapat dikelompokan sebagai berikut:

a. Perlakuan mekanis

§ Pelunakan, pemecahan atau melubangi kulit biji, sehingga terjadi lubang-lubang untuk memudahkan air dan udara melakukan aliran yang mendorong perkecambahan.

§ Skarifikasi yaitu pemarutan atau penggoresan kulit dengan cara menghaluskan kulit biji dengan pendinginan/pencelupan dalam N2 cair, merebus dalam air atau alkohol atau merendam dalam larutan pekat H2SO4.

b. Perlakuan cahaya

§ Pemberian cahaya terhadap biji-biji yang bersifat fotoblastik positif akan memacu perkecambahan.

§ Pemberian cahaya secara fotoperiodik yaitu pencahayaan terhadap biji-biji dorman dengan periode waktu tertentu.

c. Perlakuan temperatur

§ Stratifikasi terhadap benih dengan temperatur rendah (cold stratification) atau temperatur tinggi (warm stratification) selama waktu tertentu.

§ Alternating (perubahan temperatur) yaitu dilakukan teknik perubahan-perubahan temperatur, artinya direndahkan derajatnya (50-100C) atau ditinggikan derajatnya (20-300C;25-350C) tergantung jenis benih. Penggunaan suhu tinggi dapat dilakukan selama 8 jam, sedangkan temperatur rendah 16 jam.

d. Perlakuan dengan bahan kimia

Berbagai zat kimia dapat digunakan untuk mematahkan dormansi pada biji antara lain zat pengatur tumbuh, misal giberelin, sitokinin dan 2,4-D serta KNO3.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Zat pengatur tumbuh jenis IAA (Indole Acetic Acid) dan NAA (Naphthyl Acetic Acid) berfungsi sebagai pertumbuhan tanaman, pertambahan panjang batang, jumlah daun serta perpanjangan akar

2. Konsentrasi zat pengatur tumbuh yang paling cepat mengalami perkecambahan yaitu pada IAA dengan konsentrasi 20 ppm.

Daftar Referensi

Agustin, Widi, Satriyas Ilyas, Sri Wilarso Budi, Iswandi Anas, dan Faiza C. Suwarno. Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Pemupukan P untuk Meningkatkan Hasil dan Mutu Benih Cabai (Capsicum annuum L.). 2010. J. Agron. Indonesia 38 (3) : 218 - 224 (2010)

Heddy, S. 1986. Hormon Tumbuhan. CV Rajawali, Jakarta.

Kusumo, S. 1990. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. CV Yasaguna, Bogor.

Lovelles, A. R. 1990. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik. PT Gramedia, Jakarta.

Meyer, B. S. And D. B. Anderson. 1952. Plant Physiology. D. Van Nostrand Company, Inc., Princeton, New Jersey.

Prawiranata, W., S. Harran dan P. Tjondronegoro. 1981. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Departemen Botani Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Rismunandar. 1988. Hormon Tanaman dan Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.

Salim, M. S. 2004. Pematahan Dormansi Benih Aren Secara Fisik pada Berbagai Lama Ekstraksi Buah. Agrosains, Vol. 6 No. 2: 79-83.

Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. ITB, Bandung.

Sutopo, L. 1984. Teknologi Benih. Rajawali, Jakarta.

Villiers, T.A., 1972. Seed Dormancy. 220 – 282 p. Dalam Seed Biology. Ed. By T.T. Kozlowski. Vol. II Academic Press. New York and London.

Wilkins, M. B. 1989. Fisiologi Tanaman. Bina Aksara, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar